Memahami Regulasi Penggunaan Alat Tumpahan Minyak di Laut Indonesia
Tumpahan minyak di laut merupakan ancaman serius bagi ekosistem maritim. Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan jalur pelayaran yang padat, memiliki risiko tinggi terhadap insiden semacam ini.
Untuk itu, penanggulangan tumpahan minyak tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Diperlukan sebuah kerangka regulasi yang ketat untuk memastikan respons yang cepat, efektif, dan terkoordinasi, terutama dalam penggunaan peralatan penanggulangan.
Kerangka Regulasi Internasional sebagai Acuan
Regulasi di Indonesia tidak berdiri sendiri. Kita mengadopsi berbagai konvensi internasional sebagai standar utama.
International Maritime Organization (IMO) menjadi badan terdepan dalam menetapkan aturan main. Konvensi yang paling fundamental adalah OPRC 1990 (International Convention on Oil Pollution Preparedness, Response and Co-operation).
Konvensi OPRC mewajibkan negara-negara anggota, termasuk Indonesia, untuk memiliki sistem kesiapsiagaan dan respons nasional. Ini mencakup keharusan memiliki stok peralatan penanggulangan (oil spill equipment), rencana kontingensi, dan program pelatihan personel.
Regulasi Nasional Penanggulangan Tumpahan Minyak
Di tingkat nasional, payung hukum utama dipegang oleh Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Namun, regulasi yang secara spesifik mengatur mekanisme penanggulangan adalah Peraturan Presiden (Perpres) No. 109 Tahun 2006. Perpres ini mengatur tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut.
Perpres inilah yang menjadi panduan teknis utama bagi para operator pelabuhan, perusahaan pelayaran, dan industri migas (KKKS).
Sistem Penanggulangan Berjenjang (Tier System)
Regulasi Indonesia, mengadopsi standar global, membagi kapabilitas penanggulangan berdasarkan skala insiden. Ini dikenal sebagai sistem berjenjang atau “Tier“.
Jenjang ini menentukan siapa yang bertanggung jawab dan peralatan milik siapa yang harus digunakan.
Tier 1: Level Lokal (Operator)
Tier 1 adalah tanggung jawab penuh dari operator atau perusahaan tempat terjadinya tumpahan. Misalnya, kapal yang menumpahkan minyak atau fasilitas migas lepas pantai.
Regulasi mewajibkan mereka memiliki peralatan penanggulangan tumpahan minyak (OSRE) yang siap pakai di lokasi. Peralatan ini harus mampu menangani tumpahan skala kecil hingga sedang di area operasional mereka sendiri.
Tier 2: Level Regional
Jika tumpahan meluas dan kapabilitas Tier 1 tidak mencukupi, operator wajib meminta bantuan Tier 2.
Tier 2 adalah gabungan sumber daya dari operator lain di wilayah yang sama (mutual aid) atau sumber daya milik pemerintah yang ditempatkan di pangkalan regional.
Tier 3: Level Nasional dan Internasional
Tier 3 diaktivasi untuk tumpahan skala besar atau bencana nasional. Pada level ini, pemerintah mengambil alih komando operasi.
Pemerintah akan mengerahkan seluruh sumber daya nasional, termasuk peralatan dari Pusat Penanggulangan Tumpahan Minyak regional. Jika masih kurang, Indonesia dapat meminta bantuan internasional sesuai mekanisme OPRC.
Otoritas dan Pembagian Peran
Regulasi juga membagi peran otoritas dengan jelas.
Kementerian Perhubungan (Kemenhub), melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Ditjen Hubla) dan Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP), bertindak sebagai Koordinator Nasional (National Competent Authority).
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berperan dalam pengawasan, penilaian dampak kerusakan lingkungan, dan penegakan hukum lingkungan.
Sementara SKK Migas mengawasi kesiapsiagaan dan respons dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di sektor hulu migas.
Standar dan Persyaratan Penggunaan Peralatan
Regulasi tidak hanya mengatur “siapa” yang bertindak, tetapi juga “apa” yang digunakan.
Peralatan yang digunakan untuk menanggulangi tumpahan minyak harus memenuhi standar tertentu. Ini penting untuk memastikan efektivitas operasi.
Peralatan utama yang diatur penggunaannya meliputi:
- Oil Containment Boom: Alat pelokalisir tumpahan agar tidak menyebar luas. Penggunaannya krusial di menit-menit awal.
- Oil Skimmer: Alat untuk menyedot atau memisahkan minyak dari permukaan air.
- Sorbent: Material penyerap minyak, bisa berbentuk pads, rolls, atau boom.
- Dispersant: Bahan kimia yang digunakan untuk memecah lapisan minyak (digunakan dengan izin ketat dari KLHK karena dampak kimianya).
Penggunaan peralatan ini wajib didukung oleh personel yang telah tersertifikasi dan terlatih. Kesalahan penggunaan alat di lapangan justru dapat memperburuk pencemaran.
Pentingnya Kesiapan dan Peralatan Berstandar
Regulasi yang ada menekankan satu hal utama, yaitu kesiapsiagaan. Operator tidak bisa menunggu insiden terjadi baru mencari peralatan.
Mereka wajib memiliki rencana penanggulangan (contingency plan) yang teruji dan peralatan yang terawat serta siap diaktivasi kapan saja.
Sebagai perusahaan yang bergerak di industri Oil Spill Response Solutions & Equipment di Indonesia, kami di KAJ Indonesia memahami betul krusialnya kepatuhan terhadap regulasi ini.
Kesiapan peralatan yang tersertifikasi dan personel terlatih adalah kunci utama dalam melindungi reputasi perusahaan dan lingkungan.
Sanksi dan Kewajiban Pemulihan
Regulasi di Indonesia menganut prinsip “Pencemar Membayar” (Polluter Pays Principle).
UU Lingkungan Hidup menerapkan tanggung jawab mutlak (strict liability). Artinya, perusahaan penyebab tumpahan minyak bertanggung jawab penuh atas kerugian yang timbul tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.
Sanksi yang diterapkan sangat berat. Mulai dari sanksi administratif, ganti rugi pemulihan lingkungan, hingga pidana penjara bagi penanggung jawab perusahaan.
Oleh karena itu, kepatuhan terhadap regulasi penggunaan alat tumpahan minyak bukanlah pilihan, melainkan kewajiban mutlak.